Kejati Sulteng Sosialisasikan Mitigasi Risiko Hukum Proyek di Balai Sungai Sulawesi

PALU, Bahanaindonesia.com — Kejati Sulteng kembali melakukan langkah strategis dalam upaya pencegahan tindak pidana korupsi melalui edukasi hukum. Kali ini, menggelar sosialisasi mitigasi risiko hukum bagi pejabat pelaksana proyek di lingkungan Balai Wilayah Sungai Sulawesi III (BWSS). Kegiatan ini bertujuan memberikan pemahaman terkait adendum kontrak akibat keterlambatan pekerjaan agar tidak menimbulkan kerugian negara.

Sosialisasi digelar di Kantor BWSS, Jalan Abdurachman Saleh, Palu, Senin (27/10/2025). Acara diikuti pejabat pengelola proyek, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan kepala satuan kerja (Satker). Narasumber kegiatan antara lain Asisten Intelijen Kejati Sulteng Ardi Surianto, Kepala Seksi Penerangan Hukum Laode Abdul Sofian, dan Kepala Seksi Sosial Budaya dan Kemasyarakatan Firdauz M. Zein.

Dalam arahannya, Ardi Surianto menegaskan bahwa proyek infrastruktur strategis rawan terhadap keterlambatan akibat faktor teknis, cuaca ekstrem, maupun kelalaian pihak pelaksana. Proyek pembangunan infrastruktur air memiliki nilai strategis bagi masyarakat, sehingga setiap potensi keterlambatan atau penyimpangan administrasi harus diantisipasi agar tidak berujung pada persoalan hukum dan kerugian negara.

“Setiap tahapan proyek harus berjalan transparan, sesuai kontrak, dan memiliki dasar hukum yang kuat ketika dilakukan perubahan atau perpanjangan waktu kerja,” kata Ardi dalam sambutan awalnya.

Ia menambahkan, Kejaksaan berkomitmen mendorong sinergi dengan instansi teknis, agar proses pembangunan berjalan transparan, sesuai kontrak, dan memiliki dasar hukum yang kuat ketika dilakukan perubahan atau perpanjangan waktu kerja.

LIHAT JUGA  Perkuat Sinergi Hukum, Mayjen TNI Eka Wijaya Kunjungi Kejati Sulteng

Dalam paparan utamanya, Laode Abdul Sofian menekankan bahwa keterlambatan pekerjaan merupakan risiko utama dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Dampaknya tidak hanya dirasakan penyedia, tetapi juga pengguna dan pemangku kepentingan karena dapat mengganggu jadwal proyek, menambah biaya, dan menimbulkan kerugian negara.

Menurut Laode, keterlambatan dapat disebabkan berbagai faktor, termasuk force majeure, kelalaian PPK dalam perencanaan, maupun kesalahan penyedia barang/jasa. Untuk mengatasinya, mekanisme resmi seperti perpanjangan kontrak atau pemberian kesempatan menyelesaikan pekerjaan harus dijalankan sesuai aturan, antara lain Perpres No. 54 Tahun 2010 beserta perubahan Perpres No. 70 Tahun 2012, dan PMK No. 109 Tahun 2023.

“Perpanjangan waktu atau adendum kontrak hanya sah bila alasan yang diajukan objektif dan dapat dibuktikan. Jika keterlambatan akibat kelalaian penyedia, denda keterlambatan atau pemutusan kontrak dapat diterapkan sesuai ketentuan,” ujar mantan Kasipidsus Kolaka Utara itu.

Ia menambahkan, penilaian PPK harus memperhatikan kemampuan teknis penyedia dan dilakukan dengan itikad baik agar tidak merugikan negara.

Ia menjelaskan, perpanjangan masa pelaksanaan atau pemberian kesempatan menyelesaikan pekerjaan merupakan dua opsi yang diatur dalam regulasi. Namun, penerapannya harus berdasarkan kajian yang mendalam.

LIHAT JUGA  Bidhumas Polda Sulteng Gandeng Fakultas Sastra Unisa Palu, Wujudkan Proyek SIIP

Lebih lanjut, Kasipenkum menegaskan, pentingnya dokumentasi administrasi dan pencatatan progres pekerjaan secara akurat. Menurutnya, banyak kasus hukum proyek bermula dari lemahnya bukti administrasi dan tidak sesuainya keputusan di lapangan dengan dokumen kontrak.

Salah satu Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di lingkungan BWSS, Sofian, menyampaikan apresiasi atas kegiatan yang digelar Kejati Sulteng. Menurutnya, persoalan keterlambatan progres pekerjaan dan penerapan denda merupakan permasalahan nyata yang sering dihadapi di lapangan.

“Materi yang disampaikan sangat relevan dengan kondisi kami. Keterlambatan proyek sering terjadi, baik karena faktor cuaca, teknis, maupun administrasi bahkan sampai putus kontrak. Sosialisasi ini membantu kami memahami langkah hukum yang benar, agar setiap keputusan memiliki dasar regulasi yang kuat,” ujar Sofian.

Kepala Seksi Sosial Budaya dan Kemasyarakatan, Firdauz M. Zein, yang memandu jalannya acara, mengatakan bahwa kegiatan ini bukan hanya sekadar penyuluhan, melainkan forum interaktif antara aparat penegak hukum dan pelaksana proyek. Diskusi yang terbuka diharapkan mampu memperkuat kesadaran hukum di lingkungan kerja BWSS.

“Dengan pemahaman hukum yang baik, setiap pejabat teknis dapat mengambil keputusan yang tepat dan sesuai koridor hukum. Hal ini akan mendukung terciptanya tata kelola proyek yang transparan dan akuntabel,” jelas Firdauz.

Sosialisasi juga membahas aturan yang mengatur keterlambatan pekerjaan, termasuk ketentuan mengenai perpanjangan waktu 50–90 hari kalender sesuai kemampuan penyedia dan dasar hukum yang berlaku.

LIHAT JUGA  Kepala MAN 1 Palu Apresiasi Program Jaksa Masuk Sekolah Kejati Sulteng

Laode juga menekankan pentingnya pengendalian ketat sejak tahap perencanaan, lelang, hingga pelaksanaan, termasuk pembuatan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang akurat, pengawasan maksimal, dan penerapan mekanisme hukum yang jelas untuk meminimalkan risiko keterlambatan.

Kasi Pelaksana BWSS, Manto, menyampaikan terima kasih kepada pihak Kejati atas petunjuk maupun rambu-rambu yang diberikan terkait pengelolaan barang dan jasa. Menurut Manto, petunjuk tersebut menjadi salah satu langkah penting untuk memastikan pelaksanaan proyek berjalan sesuai ketentuan hukum.

Dalam kesempatan yang sama, Manto memperkenalkan satu per satu empat satuan kerja (satker) beserta para PPK BWSS. Ia juga menyampaikan permohonan maaf kepada pihak Kejati karena ketidakhadiran Kabalai, yang berhalangan hadir akibat kondisi kesehatan.

Langkah ini diharapkan dapat memperkuat koordinasi antara BWSS dan pihak Kejati, serta meningkatkan kepatuhan dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa di lingkungan Balai.

Melalui kegiatan tersebut, Kejati Sulteng menegaskan komitmennya untuk terus hadir dalam fungsi pembinaan dan pencegahan, bukan semata penindakan. Harapannya, seluruh pengelola proyek di lingkungan Balai Wilayah Sungai dapat menjalankan tugas secara profesional, tepat waktu, dan berorientasi pada kepentingan masyarakat.