Kasus Perusakan Pura di Morowali Diselesaikan Damai, Kajati Sulteng Tekankan Keadilan Humanis

PALU, Bahanaindonesia.com — Kasus perusakan pura di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, berakhir damai setelah kedua pihak sepakat menempuh jalur keadilan restoratif. Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah Nuzul Rahmat R, S.H., M.H., didampingi Kepala Kejaksaan Negeri Morowali Naungan Harahap, S.H., M.H., memimpin langsung ekspose permohonan penghentian penuntutan perkara tersebut pada Selasa (28/10/2025).

Ekspose dilaksanakan secara virtual dari Kantor Kejaksaan Negeri Morowali dan diikuti oleh Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Sesjampidum) Kejaksaan Agung RI, Dr. Undang Mugopal, S.H., M.Hum. Langkah ini menjadi bentuk komitmen Kejaksaan dalam menerapkan penegakan hukum yang berkeadilan, humanis, dan berorientasi pada pemulihan sosial.

Perkara tersebut melibatkan tersangka Al Mujahidin alias Hidin, yang disangkakan melanggar Pasal 156a huruf (a) KUHP tentang penodaan terhadap agama dan/atau Pasal 406 ayat (1) KUHP tentang perusakan barang milik orang lain.

Berdasarkan hasil penyelidikan, peristiwa terjadi pada Kamis (14/8/2025) di Desa Samarenda, Kecamatan Bumi Raya, Kabupaten Morowali. Saat itu, tersangka yang berada dalam pengaruh minuman beralkohol, secara tidak sengaja merusak Pura Penunggu milik I Wayan Panita alias Pak Sri. Akibat kejadian tersebut, korban mengalami kerugian materiil sekitar Rp15 juta.

LIHAT JUGA  Inilah Daftar 17 Kajati Terbaru dan 20 Pejabat Eselon II yang Dilantik Jaksa Agung

Usai peristiwa itu, kedua belah pihak memilih untuk berdamai. Tersangka telah menyampaikan permohonan maaf secara langsung kepada korban, dan korban dengan tulus menerima serta meminta agar perkara tidak dilanjutkan ke persidangan.

Kajati Sulteng menjelaskan, permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif diajukan karena tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, menyesali perbuatannya, dan merupakan tulang punggung keluarga yang menanggung biaya pendidikan tiga adiknya.

Proses perdamaian dilakukan di hadapan Pemerintah Desa Samarenda, disaksikan oleh tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, serta unsur pemerintahan setempat. Kajati Sulteng menilai proses ini telah memenuhi seluruh unsur keadilan restoratif yang diatur oleh Kejaksaan RI.

“Keadilan restoratif bukan hanya menghentikan perkara, tetapi memulihkan hubungan sosial dan memastikan keadilan dirasakan semua pihak,” ujar Kajati Nuzul Rahmat.

Kejaksaan Tinggi Sulteng berharap penyelesaian perkara ini menjadi contoh penerapan hukum yang berkeadilan dan berkepribadian, serta mendorong masyarakat untuk mengutamakan musyawarah dalam menyelesaikan konflik. Dengan disetujuinya permohonan tersebut, perkara resmi dihentikan berdasarkan prinsip keadilan restoratif (Restorative Justice).

LIHAT JUGA  Angka Kecelakaan dan Pelanggaran Lalu Lintas di Sulteng Menurun Selama Operasi Patuh Tinombala 2025